Samosir, pulau magis namun menakjubkan oleh pesona Danau Toba, memiliki
banyak keunikan yang membuatnya ‘tampil beda’ dibanding daerah lain di
Sumatera Utara. Salah satu keunikan tersebut adalah ditemukannya
‘parade’ berbagai bentuk bangunan kuburan mewah nyaris di sepanjang
jalan lingkar Pulau Samosir, bahkan di tepi jalan-jalan kecamatan dan
desa. Bukan di situ saja, bangunan kuburan juga secara masif menempati
halaman depan rumah penduduk, di tengah kampung, di gerbang kampung, di
tengah ladang, bahkan di tepi pantai.
Sepertinya, karena tanah
Samosir masih identik sebagai milik pusaka keturunan nenek moyang orang
Batak, maka tidak perlu ada ijin pendirian bangunan kuburan.
Disain
kuburan sangat beragam, mulai dari rumah Batak, miniatur gereja,
piramida, kubus bertingkat dan di puncaknya diletakkan miniatur rumah
Batak, tugu patung berkuda, dan seterusnya. Selain itu ada yang
berbentuk rumah dengan patung suami istri memakai ulos lengkap dengan
tombak.
Sebagian patung menunjukkan kehidupan orang meninggal
tersebut semasa hidup. Contohnya, Bapak Gultom pemilik Hotel Barbara di
desa Unjur mengungkapkan, karena orang tuanya dulu pengusaha angkutan
sado, untuk mengingatkannya maka dikuburan orang tuanya dibuat patung
sado.
Pernak-pernik untuk memperindah bangunan kuburan juga
sangat beragam, mulai dari gorga Batak sampai lukisan keramik Yesus dan
Bunda Maria. Selain itu ‘kompleks’ kuburan biasanya dilengkapi dengan
jalan bertangga, pagar stainless, teras, ada juga yang dilengkapi
meteran listrik untuk beban listrik lampu hiasnya.
Hanya satu yang hampir ditemukan sama pada setiap bangunan kuburan: salib.
Kuburan
bagi masyarakat adat Pulau Samosir merupakan monumen/prasasti sejarah
yang sangat berharga, sebagai wujud penghormatan terhadap orang tua dan
nenek moyang. Kuburan juga sering menjadi perlambang keberadaan
keturunan penghuni kuburan tersebut. Semakin megah suatu kuburan,
semakin kayalah keberadaan keturunan ‘penghuni’ kuburan.
Miris melihat fenomena ini ketika kita menemukan kondisi rumah dan lingkungan di sekeliling kuburan justru jauh dari layak huni.
Nilai-nilai
adat bagi orang Batak memang sangat di junjung tinggi. Begitu juga
dengan masyarakat perantau Samosir yang sangat mengharapkan seluruh
keturunannya yang meninggal di perantauan dikuburkan di bona pasogit.
Memang dari segi ekonomi cukup membantu karena di kota besar mereka
harus membayar sewa kuburan, sehingga lebih baik membangun kuburan
permanen di lahan gratis, dan lebih klop untuk melakukan ritual adat
yang masih melekat pada sebagian orang Batak, mamele na monding
(komunikasi dengan roh orang meninggal).
Setiap hari jasad
‘mengalir’ dari perantauan menuju bumi Samosir yang menakjubkan ini.
Nyaris tak ada penyeberangan ferry dari Ajibata ke Tomok tanpa ambulans
pengangkut mayat di atasnya. Maka tak heran jika raungan bunyi sirine
ambulans selalu menjadi pertanda bagi masyarakat Tomok dan Ambarita
bahwa ferry sudah tiba.
Masyarakat Batak memiliki kepercayaan
bahwa orang yang meninggal akan menuju surga, sehingga slogan Samosir
Negeri Indah Kepingan Surga sepertinya sangat relevan dengan keberadaan
parade kuburan yang indah menawan di seantero bumi Samosir, dan akan
terus bertambah seiring dengan raungan sirine ambulans setiap kali ferry
berlabuh.
Sungguh penulis tidak berani bicara tentang tata dan
fungsi ruang dalam membahas keberadaan parade kuburan ini, karena
penulis juga bagian dari komunitas masyarakat adat Batak. Tapi
sejujurnya, penulis miris melihat lahan terbaik dari Pulo Samosir telah
dan akan terus dirampas dari umat manusia Samosir yang masih harus terus
berjuang menjalani kehidupan. Alangkah eloknya jika Pulo Samosir juga
menjadi ‘kepingan sorga’ untuk umat manusia yang sedang menjalani
kehidupan. Horas!
Oleh Rafika Purba
0 Komentar